A. Pengertian
1.
Ikterus
Adalah perubahan warna
kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ lain yang disebabkan oleh
peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
2.
Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis
menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam Schwats (2005) adalah ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Timbul pada hari kedua – ketiga
b.
Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24
jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada
kurang bulan
c.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak
melebihi 5 mg % perhari
d.
Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
e.
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
f.
Tidak mempunyai dasar
patologis
3. Ikterus
Pathologis/ hiperbilirubinemia
Ikterus
patologis/hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan
dengan keadaan yang patologis. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Menurut
Surasmi (2003) bila :
1) Ikterus
terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
2) Peningkatan
konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam
3) Konsentrasi
bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan 12,5 % pada
neonatus cukup bulan
4) Ikterus
disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan
sepsis)
5) Ikterus
disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia,
hiperosmolalitas darah.
b. Menurut
tarigan (2003)
Suatu keadaan dimana
kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai
hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia
bila kadar bilirubin mencapai 12 mg % pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi
yang kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg % dan 15 mg %.
4. Kern
Ikterus
Adalah suatu kerusakan
otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Kern ikterus ialah
ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan
ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg %) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus
secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis
yang terjadi secara kronik.
·
Jenis Bilirubin
Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan
menjadi dua jenis
yaitu:
a. Bilirubin
tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu bilirubin
tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen
bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati
sawar darah otak.
b. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin
direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik
untuk otak.
·
Penggolongan
Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1.
Ikterus
yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun
sbb:
ü
Inkomptabilitas
darah Rh, ABO atau golongan lain.
ü
Infeksi
Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
ü
Kadang-kadang
oleh Defisiensi Enzim G6PD.
2.
Ikterus
yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
ü
Biasanya
Ikterus fisiologis.
ü
Masih
ada kemungkinan inkompatibilitas darah
ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat
misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
ü
Defisiensi
Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
ü
Polisetimia.
ü
Hemolisis
perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
3.
Ikterus
yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
ü
Sepsis.
ü
Dehidrasi dan Asidosis.
ü
Defisiensi Enzim G6PD.
ü
Pengaruh
obat-obat.
ü
Sindroma
Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4.
Ikterus
yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
ü
Karena
ikterus obstruktif.
ü
Hipotiroidisme
ü
Infeksi.
ü
Hepatitis
Neonatal.
ü
Galaktosemia.
B. Etiologi
1. Peningkatan
produksi
a. Hemolisis,
misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
b. Perdarahan
tertutup misalnya pada trauma kelahiran
c. Ikatan
bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat
pada bayi hipoksia atau asidosis
d. Defisiensi
G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
e. Breast
milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta),
diol (steroid)
f. Kurangnya
enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat
misalnya pada BBLR
g. Kelainan
congenital
2. Gangguan
transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia
atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan
fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat
langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss,
syphilis.
4. Gangguan
ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
5. Peningkatan
sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.
C. Patofisiologi
Peningkatan kadar
bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan
bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal
ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini
akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan
ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf
pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari
20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melewati
darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, dan
hipoksia.
Menurut Surasmi (2003)
gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi:
1. Gejala
akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus
adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala
kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis
serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata
dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut
Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane
mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah
mencapai sekitar 40 µmol/l.
E. Pemeriksaan
Diagnostik
1. Bilirubin
Serum
Pemeriksaan bilirubin
serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk
menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel
serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa sumber menyarankan pemeriksaan bilirubin
direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2
minggu.
2. Bilirubinometer
Transkutan
Bilirubinometer adalah
instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin
yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan
merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
3. Pemeriksaan
bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara
difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang
rendah.
F. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada
penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan
mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan
anemia
2. Menghilangkan
antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
3. Meningkatkan
badan serum albumin
4. Menurunkan
serum bilirubin
Metode terapi
hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infuse albumin
dan therapi obat.
a. Fototherapi
Fototerapi
dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang
tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light
spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar
bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal
ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin
bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam
darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan
di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi
mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara
umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi
dan berat badan lahir rendah.
b. Transfusi
Pengganti
Transfusi pengganti atau imediat didindikasikan
adanya faktor-faktor :
1) Titer
anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
2) Penyakit
hemolisis berat pada bayi baru lahir
3) Penyakit
hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
4) Kadar
bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
5) Serum
bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
6) Hemoglobin
kurang dari 12 gr/dl
7) Bayi
pada resiko terjadi kern Ikterus
Transfusi
pengganti digunkan untuk:
1) Mengatasi
anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap antibody maternal
2) Menghilangkan
sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)
3) Menghilangkan
serum ilirubin
4) Meningkatkan
albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dangan bilirubin
Pada
Rh Inkomptabilitas diperlukan transfusi
darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah
yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar
bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
c. Therapi
Obat
Phenobarbital
dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu
hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya
(letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.
G. Komplikasi
1.
Bilirubin Encephalopathy (
komplikasi serius )
Ikterus neonatorum yang
berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi
ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas
dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum
yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia
bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus,
bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan
ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum
dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang
mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia
non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau
kerusakan neurologik yang disebabkannya.
2.
Kernikterus
3.
Retardasi
mental - Kerusakan neurologis
4.
Gangguan
pendengaran dan penglihatan
H. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1.
Pengawasan
antenatal yang baik
2.
Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada
bayi dan masakehamilan
dan kelahiran, contoh: sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
3.
Pencegahan
dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4.
Penggunaan
fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5.
Imunisasi
yang baik pada bayi baru lahir
6.
Pemberian
makanan yang dini.
7.
Pencegahan
infeksi
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI
HIPERBILIRUBIN
A. Pengkajian
1.
Anamnese orang tua/keluarga
Ibu dengan rhesus ( - )
atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini,
kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis ( Rh, ABO, incompatibilitas lain
golongan darah). Ada sudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau
ikterus, kemungkinan suspec spherochytosis herediter kelainan enzim darah
merah. Minum air susu ibu , ikterus kemungkinan karena pengaruh pregnanediol
a. Riwayat
kelahiran
•
Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran
dengan manipulasi berlebihan merupakn predisposisi terjadinya infeksi
•
Pemberian obat anestesi, analgesik yang
berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia), acidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin.
•
Bayi dengan apgar score renddah
memungkinkan terjadinya (hypoksia), acidosis yang akan menghambat konjugasi
bilirubn.
•
Kelahiran Prematur berhubungan juga
dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
b. Pemeriksaan
fisik
1)
Keadaan umum tampak lemah, pucat dan
ikterus dan aktivitas menurun
2)
Kepala leher
•
Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera)
dan selaput / mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan
melakukan Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih
( kuning)
•
Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi
yang hypoksia
3)
Dada
•
Selain akan ditemukan tanda ikterus juga
dapat ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas.
•
Status kardiologi menunjukkan adanya
tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi
4)
Perut
•
Peningkatan dan penurunan bising usus
/peristaltic perlu dicermati. Hal ni berhubungan dengan indikasi
penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.
•
Perut membuncit, muntah , mencret
merupakan akibat gangguan metabolisme
bilirubun enterohepatik
•
Splenomegali dan hepatomegali dapat
dihubungkan dengan Sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella
5)
Urogenital
•
Urine kuning dan pekat.
•
Adanya faeces yang pucat / acholis /
seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran
empedu
6)
Ekstremitas
Menunjukkan
tonus otot yang lemah
7)
Kulit
•
Tanda dehidrasi titunjukkan dengan
turgor tang jelek. Elastisitas menurun.
•
Perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan
ptechia, echimosis.
8)
Pemeriksaan Neurologis
Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan
lain – lain menunjukkan
adanya tanda – tanda kern - ikterus
c.
Pemeriksaan Penunjang
1)
Darah : DL, Bilirubin > 10 mg %
2)
Biakan darah, CRP menunjukkan adanya
infeksi
3)
Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya
penurunan
4)
Screnning Ikterus melalui metode Kramer
dll
5)
Skreening ikterus melalui matode kremer.
B. Diagnosa keperawatan
1.
Kurangnya volume cairan sehubungan
dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
2.
Gangguan suhu tubuh (hipertermi)
sehubungan dengan efek fototerapi
3.
Gangguan integritas kulit sehubungan
dengan hiperbilirubinemia dan diare
4.
Gangguan parenting sehubungan dengan
pemisahan
5.
Kecemasan meningkat sehubungan dengan
therapi yang diberikan pada bayi
6.
Potensial trauma sehubungan dengan efek
fototherapi
7.
Potensial trauma sehubungan dengan
tranfusi tukar
C. Rencana keperawatan
1.
Kurangnya volume cairan sehubungan
dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
Tujuan
:
Cairan tubuh neonatus adekuat
Intervensi
:
Catat jumlah dan
kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara
menyusui atau memberi botol.
2.
Gangguan suhu tubuh (hipertermi)
sehubungan dengan efek fototerapi
Tujuan
: Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
Intervensi
:
Beri suhu lingkungan
yang netral, pertahankan suhu antara 35,5°
- 37° C, cek
tanda-tanda vital tiap 2 jam.
3.
Gangguan integritas kulit sehubungan dengan
hiperbilirubinemia dan diare
Tujuan
: Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
Intervensi
:
Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau
bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang
menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
4. Gangguan
parenting sehubungan dengan pemisahan
Tujuan
: Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat
mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi
:
Bawa bayi ke ibu untuk
disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu,
anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam
perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.
5. Kecemasan
meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan
:
Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala
untuk menyampaikan pada tim kesehatan
Intervensi
:
Kaji pengetahuan
keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi
dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi
dirumah.
6. Potensial
trauma sehubungan dengan efek fototherapi
Tujuan
:
Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
Intervensi
:
Tempatkan neonatus pada
jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang
kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat
memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir;
matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8
jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan
setiap memberikan perawatan.
7. Potensial
trauma sehubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan
: Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi
:
Catat kondisi umbilikal
jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30
menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan,
pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang
akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital; selama dan
sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan
dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium
sesuai program.
D. Prinsip Tindakan
Pelaksanaan
adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang
direncakan oleh perawat. Dalam melaksanakan proses keperawatan harus kerjasama
dengan tim kesehatan yang lain, keluarga
klien, dan dengan klien sendiri, yang
meliputi 3 hal :
1.
Melaksanakan
tindakan keperawatan dengan memperhatikan kode etik dengan standar praktek dan
sumber-sumber yang ada.
2.
Mengidentifikasi
respon klien.
3.
Mendokumentasikan/mengevaluasi
pelaksanaan tindakan keperawatan dan respon pasien.
E.
Prinsip
Evaluasi
Evaluasi
merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi
kebutuhan klien. tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan
proses keperawatan.
Adapun
evaluasi bayi dengan hiperbilirubin dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya dan asuhan keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam
evaluasi terlihat pencapaian kriteria tujuan perencanaan yang diberikan pada bayi
dengan hiperbilirubin.
FKUI
.1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: EGC.
Ladewig,
patricia,dkk.2006. Buku Saku Asuhan Keperawatan Ibu Bayi Baru Lahir Edisi 5. Jakarta: EGC.
Manuaba,
Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan.Jakarta: EGC.
Mansjoer,
A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.
Ngatisyah.2005.
Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Surasmi,Asrining,dkk.2003.
Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar