Rabu, 04 Juli 2012

Askep cedera kepala


     A.   Pengertian
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patologis yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak sebagai akibat dari pukulan yang menyebabkan kerusakan langsung atau gerakan intraserebral akibat percepatan atau perlambatan yang terjadi secara cepat (Mansjoer, 2000).
Menurut Satyanegara (1998) cedera kepala berdasarkan keadaan klinik dapat dibagi yaitu :
a.       Tingkat I (cedera kepala ringan)
Adanya riwayat kehilangan kesadaran atau pingsan setelah mengalami trauma dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologis.
b.      Tingkat II (cedera kepala sedang)
Kesadaran menurun tetapi dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana dan dijumpai adanya defisit neurologis.
c.       Tingkat III (cedera kepala berat)
Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gagu, gelisah, respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisis rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali.
Menurut Brunner & Suddarth (2002) panduan dalam pengkajian GCS adalah sebagai berikut :
Membuka mata
Spontan                                     4
Dengan perintah                        3
Dengan nyeri                             2
Tidak berespon                         1
Respon motorik
Dengan perintah                        6
Melokalisasi nyeri                     5
Menarik area yang nyeri            4
Fleksi abnormal                         3
Ekstensi abnormal                     2
Tidak berespon                          1
Respon verbal
Berorientasi                               5
Bicara membingungkan            4
Kata-kata tidak tepat                3
Suara tidak dapat dimengerti    2
Tidak ada respon                       1

B.  Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat dari kontak bentur atau guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepada yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan (Satyanegara, 1998).
Selain itu penyebab yang paling umum adanya peningkatan TIK pada pasien cedera kepala adalah edema serebri. Puncak pembengkakan yaitu 72 jam setelah cedera. Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar. Akibat cedera dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku.

C.  Patofisiologi
Menurut Sylvia (1995), kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui dua cara :
a.       Efek langsung trauma pada fungsi otak.
b.      Efek-efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma.
Kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak, kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras bergerak dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini disebut juga cedera contrecoup.
            Bagian otak yang paling besar kemungkinannya untuk mengalami cedera terberat adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus oksipitalis, bagian atas mesenfalon. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak dipengaruhi oleh suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen dan sangat peka terhadap cedera metabolik apabila supia terhenti. Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah yang beredar sehingga menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
Prinsip-prinsip patofisiologi :
a.       Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada cedera kepala, hipoksia atau kerusakan pada otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya metabolik asidosis.
b.      Pola pernafasan
Cedera kepala yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan gagal nafas yang mengakibatkan laju mortalitas yang tinggi diantara pasien cedera kepala.
c.       Kerusakan mobilitas fisik
Akibat terjadinya edema dari cedera kepala berat, dapat mengalami perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot, otot spastik. Hemiparese dan hemiplegi sebagai akibat kerusakan pada area motorik otak.

d.      Keseimbangan hidrasi
Hampir semua pasien cedera kepala akan memounyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi yang seimbang, kondisi ini akan mengurangi kemampuan tubuh berespon terhadap stres. Dalam keadaan stres fisiologi, makin banyak antidiuretik (ADH) makin banyak aldosteron diproduksi yang mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses ini biasanya membaik dengan sendirinya dalam satu sampai dua hari, bila diuresis terjadi.
e.       Aktivitas menelan
Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah.
f.       Kemampuan komunikasi
Pasien dengan cedera kepala juga disertai kerusakan komunikasi yang terjadi secara tersendiri melainkan akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa.














Pathways Keperawatan

 





























D.  Manifestasi Klinis
Menurut Smellzer (1998), manifestasi cedera kepala adalah sebagai berikut :
a.       Gegar serebral (komutio serebri)
Bentuk ringan, disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, pingsan mungkin hanya beberapa detik/ menit.
Gejala lain : sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, pusing, peka, amnesia, retrogrod.
b.      Memar otak (konfusio serebri)
Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejala bervariasi bergantung lokasi dan derajat.
1)   Ptechie dan rusaknya jaringan saraf.
2)   Edema jaringan otak.
3)   Peningkatan tekanan intrakranial.
4)   Herniasi.
5)   Penekanan batang otak.
c.       Hematoma epidural
“Talk dan Die” tanda klasik :
Penurunan kesadaran ringan saat benturan merupakan periode lucid (pikiran jernih) beberapa menit, beberapa jam menyebabkan penurunan kesadaran, neurologis :
1)      Kacau mental : koma
2)      Pupil isokor : anisokor
d.      Hematoma subdural
Akumulasi di bawah lapisan durameter diatas arachonoid, biasanya karena aselerasi, deselerasi.
Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut). :
1)      Perluasan masa lesi.
2)      Peningkatan TIK
3)      Sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang.
4)      Disfasia

e.       Hematoma intrakranial
1)      Penumpukan darah pada dalam parenkim otak (³ 25 ml)
2)      Karena fraktur depresi tulang tengkorak
3)      Gerakan aselerasi

E.   Pemeriksaan penunjang
a.   CT Scan kepala
      Untuk menggambarkan sifat lokasi dan luasnya lesi yang menunjukkan adanya oedema cerebral, kontisio hematoma intraserebral, hemoragi dan perubahan lambat akibat trauma.
b.   Angiografi cerebral
Menggambarkan hematoma supra tentoral, intra serebral, konfusio, gambaran tengkorak dari posterior dan anterior.
c.       Rongent kepala tiga posisi
Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak.
d.      EEG
Untuk mengetahui adanya gelombang patologi.
e.       Fungsi lumbal
Untuk mengetahui perdarahan subarachnoid.
f.       Analisa gas darah
Untuk mengetahui masalah ventilasi yang menyebabkan TIK meningkatkan.
g.      Kimia/elektrolit darah
Untuk mengetahui keseimbangan yang berperan meningkatkan TIK.
h.      Darah rutin
Untuk mengetahui penurunan hubungan akibat perdarahan.

F.   Komplikasi
a.   Edema subdural dan herniasi otak
b.   Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai limfosis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
c.   Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut.
d.   Infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia).

G.  Penatalaksanaan
Menurut Satyanegara (1998) penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan cedera kepala meliputi :
a.   Keperawatan
1)   Cedera Kepala Tingkat I
Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau ringan, riwayat adanya amnesia (retrogradi) serta keluhan-keluhan lain yang berkiatan dengan peningkatan tekanan intrakranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada tidaknya trauma kepala. Sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonoasi akan berat ringannya konstruksi cedera kepala yang terjadi. Pemeriksaan fisik disini ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik lainnya, serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk mengetahui adanya : fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus alinenum dan lainnya, sedangkan foto servikal atau bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Pemeriksaan sken tomografi komputer otak (“CT Scan”) secara ideal perlu dilakukan bagi semua kasus cedera kepala.
2)   Cedera Kepala Tingkat II
Penanganan pertama selain mencakup anamnesa (seperti diatas) dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken tomografi komputer otak. Pada tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit perlu dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow up sken tomografi komputer otak pada hari ke 3 atau bila ada pemburukan neurologis.
3)   Cedera Kepala Tingkat III
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana sekalipun setelah stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih belum mencakup keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya adalah dikategorikan sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan “menunggu” (wait and see) disini dapat berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini mencakup tujuh tahap yaitu :
a)      Stabilitas kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-Breathing-Circulating) Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intrakranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala tingkat III memerlukan intubasi.
b)      Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
c)      Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih rendah (syok).
d)     Penanganan cedera-cedera di bagian lainnya.
e)      Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, anti kejang dan natrium bikarbonat.
f)       Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : sken tomografi komputer otak, angiografi serebral dan lainnya.
g)      Penilaian tindakan operasi versus konservatif.
b.   Pengobatan
1)   Terapi operasi pada cedera kepala
      Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai individu tindakan operatif adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm (kecuali penderita sudah mati otak).
2)   Terapi medikamentosa pada cedera kepala
      Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan golongan deksamethasone, mannitol 20%, fenitol, karbamazepin.

DAFTAR PUSTAKA


Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar